adsense

Minggu, 16 Desember 2012

Tersirat


                “Woy, Baju Merah! Woy!”
                Dira berbalik badan dan menghentikan langkah, “Gue?”
                “Iya! Elo yang namanya Dira ya?”
                “Iya, kenapa?”
                “Anu lho, Si Kevin....”
                “Kevin?”
                “Iya, anak yang sekelas sama elo!”
                “Dih, elo bukannya sejurusan sama gue? Elo anak psikologi juga kan? Mahasiswa baru juga?”
                “Gue Rama, kita satu jurusan juga, kok, tapi beda kelas. Sewaktu pertemuan pertama mahasiswa baru, elo lihat gue kan?”
                Dira memutar ingatannya, mencoba mencari-cari wajah Rama dan mengingat kembali pertemuan pertama mahasiswa baru, ketika ia temukan wajah Rama dalam memorinya, Dira langsung mengangguk cepat, “Iya, gue inget.”
                “Bagus! Gue mau cerita mengenai Kevin nih.”
                “Ada apa dengan Kevin? Enggak ada hujan dan enggak ada angin kok elo tiba-tiba cerita tentang dia?”
                “Kevin suka cerita tentang lo! Dia juga sering banget bercerita tentang percakapan antara lo dan dia. Kayaknya, dia suka banget deh sama elo, Dir.”
                Pipi Dira memerah, “Kita cuma sering becanda di sms atau bbm, kok, enggak lebih dari itu.”
                Pria itu menatap wajah Dira sambil menghela napas pelan dan panjang. Dira meneliti wajah pria itu dengan cermat, nampaknya ia sangat bersemangat mengejar Dira hingga napasnya terengah-engah seperti itu.
                “Dia juga cerita kalau elo suka sms atau bbm dia duluan. Katanya, elo lucu, ramah, dan supel. Dia nyaman ngomong sama elo.”
                “Wah, gue baru tahu kalau elo deket sama Kevin.”
                “Dia sering main ke kosan gue, soalnya kosan dia katanya sepi. Dia enggak terlalu suka tempat yang sepi.”
                Dira mengangguk mengerti, “Terus, dia cerita apalagi?”
                “Elo penasaran? Mending kita ngobrol dekat danau itu aja, lumayan anginnya sepoi-sepoi.”
                Langkah mereka berayun menuju salah satu bangku di dekat danau. Dalam keadaan seperti ini, sejauh mata memandang terlihat Perpustakaan Pusat UI berdiri megah. Aliran danau yang tenang namun menggoda menciptakan gemerisik yang merdu. Terpaan angin yang sejuk memainkan rambut Rama dan Dira.
                Dira tak terlalu mengenal Rama, mungkin inilah kali pertama Dira bisa benar-benar bercakap dengan Rama. Hal itulah yang juga dirasakan Rama, inilah kali pertama ia bercakap dengan Dira.
                “Kevin cerita banyak hal mengenai elo. Dia memerhatikan setiap detail yang ada dalam diri lo.”
                “Wah, tapi, kok elo malah cerita-cerita ke gue sih? Harusnya, itu kan jadi rahasia antara elo dan Kevin.”
                “Bagi gue, ini bukan rahasia. Enggak ada gunanya disimpan diam-diam kalau dikatakan jauh lebih berarti.”
                “Elo serius kalau Kevin sering cerita tentang gue ke elo?”
                “Iya, masa gue bohong sama elo? Elo suka sama dia?”
                Dira terdiam.
                “Oke, diam lo cukup menjawab, kok.”
                Senyum Dira melengkung sempurna, ia membayangkan bagaimana Kevin, pria yang baru-baru ini mengisi hatinya yang kosong, sangat berantusias bercerita tentang dirinya kepada sahabat karib Kevin, Rama. Dira juga mereka-reka bagaimana wajah Kevin yang sangat manis itu mengucapkan nama Dira berkali-kali. Senyum Dira semakin puas, ia merasa bahwa usahanya mendekati Kevin telah mendapatkan respon. Kevin yang Dira kira adalah cowok angkuh dan pelit respon ternyata menyimpan rahasia yang mendalam. Bagi Dira, Kevin juga menyukai Dira sedalam Dira menyukai sosok Kevin. Senyum Dira terlihat semakin puas. Sangat puas.
                “Tetap bikin dia tersenyum ya, kayaknya cuma elo yang berhasil mengembalikan senyumnya.”
                “Lho, kok segitunya sih, Rama? Emangnya ada apa dengan Kevin?”
                “Tadinya, dia udah lupa rasanya jatuh cinta, kehadiran elo benar-benar mengubah dia.”
                “Rama, thanks ya! Gue jadi tambah semangat nih buat bikin Kevin terus tersenyum.”
                “Bagus. Sekarang, udah sore banget, elo enggak pulang?”
                “Keasikan cerita jadi lupa kalau gue mau pulang!”
                Rama tertawa geli. Dira segera pamit meninggalkan Rama. Langkah Rama tak langsung beranjak, ia memerhatikan punggung Dira yang semakin lama semakin menjauh.
                Napasnya berembus dengan sangat berat, “Dira, seandainya gue bisa jadi Kevin.”

bersambung ke Tersirat II

Kamis, 29 November 2012

Perlukah Aku Mengetahui Namamu? (end)


“Apakah menunggu harus selalu disertai dengan janji?”

                Aku sudah berjanji pada diriku sendiri agar tidak berharap terlalu banyak. Kejadian beberapa hari yang lalu hanyalah ketertarikan sesaat. Mungkin, aku sudah lupa rasanya berbicara sehangat dan sedekat kemarin, makanya pria itu terasa begitu spesial dalam kacamataku. Dalam waktu singkat, kami bisa bicara banyak hal. Seleranya dekat dengan seleraku, banyak kesamaan. Namun, seharusnya banyak kesamaan belum tentu menyebabkan ketertarikan. Harusnya memang begitu. Apa yang kauharapkan dari sosok pria yang baru saja kaukenal? Bahkan kautak mengetahui namanya, asal-usulnya, dan pekerjaannya. Pikiran-pikiran itu bertengkar hebat di otakku. Aku tak pernah segelisah ini. Kupikir tak ada hal yang terlalu mengkhawatirkan di Busan, namun nyatanya kehadiran singkat pria itu benar-benar meresahkanku.
                Malam tahun baru. Aku sendirian. Teman-temanku berlibur di Seoul. Chuketa! Berpesta! Itulah satu kata yang kubenci. Terhitung bulan November yang lalu, sudah setahun aku berada di Busan, tapi kata berpesta masih begitu asing bagiku. Aku tidak suka pesta. Aku juga tak terlalu suka keramaian. Aku suka keheningan bersama dengan diriku sendiri. Berbicara mesra dengan pikiran-pikiran di otakku, dan berbincang mesra dengan isi hatiku. Di sini, aku terbiasa sendiri, menjadi mandiri adalah pilihanku agar betah hidup di negeri orang. Mungkin, itu juga alasan yang cukup logis, mengapa kehadiran pria-yang-kutemui-beberapa-hari-yang-lalu terasa sangat istimewa bagiku.
                I jungeseo amugeona gollado dwaeyo. Dapatkah aku memilih? Tidak. Aku tidak dapat memilih apapun. Aku juga tak dapat memilih ketika akhirnya aku tak lagi lanjutkan lemburku di malam tahun baru. Aku juga tak memilih menyusuri jalanan yang dingin, bermantel, hingga mulutku mengeluarkan asap setiap kali aku menghela napas. Aku tak memilih untuk duduk di sini. Diam. Termangu. Sambil meminum soju. Di tempat yang sama, tempat aku tak sengaja berjumpa dengan pria itu. Aku tak rencanakan kedatanganku hari ini. Otakku yang meminta, kakiku yang menggerakan, dan hatiku yang bicara. Aku tak dapat lagi memilih ketika anggota tubuhku menginginkan sesuatu yang mereka mau. Bertemu. Pria itu.
                Tak peduli ia akan datang, tak peduli aku harus sendirian menunggu. Aku lebih suka menunggu, lebih elegan dan manis daripada hanya memendam dalam diam. Menunggu adalah pekerjaan, mungkin karena biasanya dilakuan dalam diam sehingga pekerjaan menunggu sering dianggap pekerjaan tolol. Apakah bisa dianggap tolol jika seseorang menunggu untuk hal yang mulai ia sukai? Nampaknya tidak dan aku memercayai itu. Aku di sini. Menunggu pria itu datang. Tak peduli dia akan mengingatku atau tidak. Tak peduli ia akan menghampiriku atau tidak. Tak peduli ia akan membawa wanita lain sambil merangkulnya atau dia datang seorang diri. Iya, meskipun tak ada perjanjian, namun rasanya lebih baik menunggu, daripada aku seorang diri di meja kerjaku. Menatap laptop yang bukan mahluk hidup. Aku melanggar janjiku, ternyata aku berharap banyak pada pria itu.
                Aku merasa udara semakin dingin. Entah tubuhku yang menggigil atau memang cuaca di luar telah menulari atmosfer dia dalam tempat aku menunggu. Kuteguk lagi soju-ku. Entah sudah gelas yang keberapa yang kuminum. Entah sudah merk soju keberapa yang kuteguk. Aku sengaja memesan pada pelayan untuk memberiku beberapa merk soju yang berbeda. Sungguh, aku tak mengerti perasaanku kali ini. Semakin aku berusaha mengerti, semakin aku tak memahami.
                Aku mencoba setiap merk soju, berharap menemukan rasa nikmat di lidahku seperti saat aku meneguk sojusambil menatap sosok pria itu. Namun, tak ada rasa soju yang sama. Semua terasa hambar. Hanya dia yang bisa mengubah rasa sojulebih menyenangkan di lidahku. Dan, karena dia juga, soju yang kuteguk terasa begitu langu.
                Kepalaku begitu berat. Mataku terantuk. Di tengah tawa membahana malam tahun baru. Di antara candaan orang-orang bersama dengan teman-teman mereka, mataku malah berkunang-kunang. Mengapa aku begitu sulit terlarut dalam kebahagiaan seseorang?
                Kepalaku semakin berat.
                Aku terlelap.
***
                “Bangun! Bodoh...”
                Suara itu sepertinya begitu lantang diucapkan seseorang, tapi teredam oleh dentuman tawa para pengunjung yang jumlahnya ternyata semakin banyak. Sudah berapa lama aku tak sadarkan diri?
                “Untuk apa minum sebanyak ini? Katanya kauminum hanya untuk menghangatkan tubuhmu, tapi jumlah botol-botol ini terlalu banyak.”
                Aku mengenal suara ini, walaupun pengenalanku tak terlalu lama dan masih begitu singkat. Aku mencoba membuka mata, melawan rasa berat di kepalaku.
                “Hah, kautidak menjawab aku. Aku ke toilet dululah!”
                Cepat-cepat kutarik tangannya, mengumpulkan seluruh tenagaku untuk menahannya. “Jangan....”
                “Kenapa?”
                “Nanti kaumeninggalkanku seperti kemarin.”
                Dia terduduk lagi. Menatapku dengan tatapan hangat. “Kenapa minum sebanyak ini? Kasihan tubuhmu. Sudah tinggal sendirian. Malam tahun baru sendirian. Minum sendirian juga!”
                “Heh!” selorohku lunglai, aku masih mencoba melawan rasa berat di kepalaku. “Kausedang membicarakan dirimu sendiri ya?”
                “Aku membicarakanmu!”
                “Masa? Walaupun mataku berkunang-kunang, aku tahu sebenarnya kaujuga minum banyak. Ada enam botol di depanmu. Itu milikmu kan?”
                Ia tersenyum geli.
                “Aku memang mabuk, tapi aku cukup bisa mengingat bahwa botol yang kuminum hanya lima, bukan sebelas!”
                “Bukankah sebenarnya manusia sedang membicarakan dirinya sendiri ketika ia menyindir orang lain?”
                Aku tak menjawab, malah mengalihkan pertanyaan. “Kenapa tidak liburan tahun baru? Lihat kembang api misalnya. Daripada di sini. Kautak temukan kebahagiaan di sini.”
                “Ada kebahagiaan kok di sini.”
                “Mana?”
                “Di depanku.”
                Aku terdiam. Dalam keadaan berpangku dagu, aku mengayun-ayunkan tanganku di depan wajahnya. “Gombal!”
                “Bukankah kamu suka mendengarnya.”
                “Sok tahu.”
                “Kalau kautak menyukaiku, kautidak menahanku.”
                Aku nyengir, mencoba meredam rasa salah tingkah. Ia menebak perasaanku dengan detail, dan aku tak mampu lagi melawan.
                “Kenapa baru datang sekarang? Sejak kemarin aku di sini.”
                “Ngapain?”
                “Menunggumu.”
                “Buat apa menunggu? Tidak ada janji kan?”
                “Apakah menunggu harus selalu disertai dengan janji?”
                “Mungkin, tidak juga.”
                “Aku suka melihat senyummu walau dalam keadaan mabuk seperti ini. Tapi, aku ingin pulang, udara di sini dingin sekali."
                Chuwoyo! Di luar dingin.”
                “Tidak apa-apa, aku terbiasa dengan hal yang dingin. Dengan hati yang dingin, dengan perasaan dingin, dengan cuaca dingin. Sungguh, aku sudah sangat terbiasa."
                Aku berdiri, hendak melangkah pergi. Aku berusaha keras tak menoleh ke belakang. Dalam keadaan seperti ini, seharusnya aku tak berjalan sendirian. Aku sedang mabuk. Terlalu nekad kalau harus menyusuri jalanan sendirian. Seusai membayar minumanku, pergelangan tanganku ditarik secara paksa. Pria itu menarik tanganku hingga meninggalkan restoran. Ia membawaku berlari. Entah ke mana. Aku tak bisa melawan, genggamannya sangat kuat. Sungguh berat bagiku harus berlari di tengah lalu-lalang orang yang ingin menikmati malam tahun baru. Kepalaku bertambah berat, rasanya aku ingin memuntahkan seluruh isi perutku ke wajah pria itu. Langkahnya semakin cepat dan genggamannya semakin kuat.
                Langkah larinya mulai pelan ketika kami sampai di sebuah jembatan yang tak pernah kulewati sebelumnya. Aku tak mengenali jembatan ini. Ia menggiringku hingga ke tengah jembatan. Kami berpegangan pada gagang jembatan. Di bawah jembatan mengalir sungai yang tak begitu deras, tak ada gemericik yang mengisi kesunyianku dan kesunyiaannya. Aku tak bertanya banyak. Apa yang harus kutanyakan dalam keadaan serba bingung seperti ini?
                “Kadang, kita tak pernah punya alasan untuk menunggu seseorang. Kita hanya tahu menunggu adalah yang terbaik, tak peduli ia akan datang atau ia tak pernah pulang.”
                Aku memandang jauh pada gelapnya malam kala itu. Dalam ketidakpedulianku, ternyata telingaku cukup menyerap pernyataan yang ia ucapkan.
                “Bahkan, kautak perlu mengetahui nama seseorang hanya untuk membuat dirimu terdiam dan terus menunggu.”
                “Nama memang bukan segalanya, tapi bagiku jika kautak mengetahui nama seseorang dan ternyata takdir menginginkan orang tersebut menjadi kenangan, berarti kautak bisa memanggil namanya dalam hati juga dalam bibirmu.”
                “Apa gunanya nama?”
                “Untuk diucapkan dalam doa.”
                Pria ini tersenyum tipis. Ia menatap jam tangannya. Menghela napas.
                DAR! DAR! DAR!
                Aku terbangun dari tidur panjangku dan kepala beratku.
                Kembang api tahun baru. Baru kali ini aku memasuki tahun baru bersama seseorang yang mungkin saja akan menjadi orang yang spesial dalam hidupku.
                “Namaku....” ucapnya tertahan, beradu bersama dentuman kembang api.
                Bojamaja maeusayadeu Reosseoyo.
                Begitu aku melihatnya, aku menyukainya.

Jumat, 23 November 2012

Perlukah Aku Mengetahui Namamu?

“Sendirian tak berarti kesepian.”

               Aku berusaha menghindari udara Busan yang dingin malam ini. Seharusnya aku sudah di apartemenku, berendam air hangat, bersama dengan lilin aromatherapyyang kubakar; tapi, sekarang aku di sini. Duduk manis, menatap orang-orang yang masih tergopoh-gopoh melawan udara dingin di luar. Restoran ini memang cukup ramai, sebenarnya aku tak terlalu suka tempat seperti ini, namun jika di apartemenku di sana jauh lebih mengenaskan. Sepi. Aku tak punya teman bicara.
                Di mejaku sudah tersedia bibimbap dan berbagi macam banchan, terlalu banyak jika dimakan oleh satu orang. Aku merasa bosan, pandanganku mengarah pada meja kasir. Pohon cemara berukuran sedang tengah menyambut para tamu yang baru datang dengan kerlap-kerlip lampu natal. Hiasan malaikat-malaikat kecil bergelantungan di daun-daun pohon cemara. Keramaian ini tak menghangatkan hatiku yang beku. Tatapanku melirik ke gantungan kunci apartemenku yang belum kumasukkan ke dalam tas. Ah... batik. Aku rindu rumahku.
                Dalam keadaan terdiam seperti itu, seorang pria memasuki restoran dan matanya melirik ke arah bangku yang hampir semuanya terisi, kecuali bangku yang ada di hadapanku. Ia berjalan mendekati bangku yang telah kududuki.
                Annyeong haseyo.” ucapnya pelan, suaranya beradu dengan tawa membahana pengunjung restoran yang sibuk menyantap makanan. Ia langsung melirik ke arah gantungan kunci apartemenku. Batik. Senyumnya tipis, tapi cukup mencuri perhatianku. “Indonesia?”
                Aku membalas sapaan itu dengan anggukan pelan.
                “Saya boleh duduk di sini, ya?”
                Aku mengangguk. Sekali lagi. Dengan senyum seadanya, aku benci bicara dengan orang asing.
                “Pesanan anda sama seperti pesanan saya.”
                “Oh...” tanggapku datar, aku menegak sojudengan cepat, kemudian nenarik napas perlahan, mengembuskannya dengan pelan, melepas rasa bosan.
                “Anda peminum?”
                “Untuk mengundang rasa hangat di tubuh.” jawabku sekenanya, aku mulai tidak nyaman ditatap dengan tatapan seperti itu. Ada kilatan yang berbeda di matanya, dan tatapan itu sungguh menganggu konsentrasiku.
                “Kenapa sendirian?” tanya pria itu lagi, kali ini ia sambil meneliti motif batik di gantungan kunci apartemenku. Ketelitiannya berkurang ketika pelayan membawakan bibimbap dan berbagi macam banchan pesanannya.
                Tatapannya yang hangat sedikit menyulutkan rasa kebencianku terhadap orang asing, nampaknya dia juga bukan orang jahat. “Biasanya saya ke sini bersama dengan teman-teman saya, namun mereka sedang berada di Seoul, liburan.”
                “Anda dibiarkan sendirian di kota pelabuhan seperti Busan ini?”
                Aku tersenyum kecut. “Sendirian tak berarti kesepian.”
                Ia mengangguk, entah pertanda setuju atau ingin cepat-cepat mengakhiri pembicaraan denganku. Aku mencoba mengalihkan pandanganku dari wajah pria itu, sambil sesekali meneguk soju. Tapi, entah mengapa, semakin aku tak menghiraukannya, semakin aku ingin menatapnya. Sebelum pria ini datang, soju di lidahku terasa begitu hambar, namun setelah pria ini menyapaku; rasanya sojuyang kuteguk jauh lebih memiliki rasa. Aku mencuri pandang ke arahnya ketika ia sibuk melahap bibimbap dan banchan. Tidak terlalu jelek dan tidak terlalu tampan, cukup manis untuk ukuran pria Indonesia di kota yang pelabuhannya selalu sibuk ini. Kulitnya sawo matang. Hidungnya tak terlalu macung tapi sangat pas dengan tulang pipinya yang tak terlalu tirus. Matanya terlihat seperti mata orang yang lelah, namun kilatan di dalam sana selalu jelas kutangkap setiap kali aku menatapnya.
                “Apartemen anda di daerah mana?”
                “Wonjin Tech.”
                “Bukankah itu dekat dengan pantai? Pantai apa ya? Pantai berpasir putih, kalau tidak salah.”
                Pantai Songjeong, sebelah timur Haeundae. Anda tahu banyak tentang Busan ternyata.”
                “Harus banyak tahu, dan memang harus banyak mengenal, dengan mengenal maka ada peluang untuk mencintai.”
                “Anda sulit mencintai Korea? Makanya, harus berusaha keras?”
                “Pesona Indonesia masih begitu melekat dalam ingatanku, dan bagaimanapun caranya, Indonesia tetap menjadi kecintaanku. Di samping rasa cinta itu, aku harus jatuh cinta pada negara orang, Korea. Aku sudah jatuh cinta pada Indonesia, tapi pada Korea, aku masih perlu berusaha untuk jatuh cinta padanya.”
                Aku tersenyum tipis karena kebingungan menanggapi pernyataannya.
                “Pantai itu mengingatkan saya dengan salah satu pantai di daerah Gunung Kidul...”
                “Pantai Sundak!” aku menebak, ia ikut membelalak.
                “Anda tahu banyak tentang pantai.”
                “Ya, memang beberapa hal di Busan banyak mengingatkan saya pada Indonesia, dan hal itu membuat saya sedih, saya harus menerima kenyataan bahwa saya tidak sedang berada di Indonesia.”
                “Busan sangat ramai, tapi entah mengapa saya merasakan hal yang anda rasakan, sering merasa kesepian, dan jarang punya teman ngobrol.”
                “Saat kesepian, anda tak bisa memilih orang mana yang bisa anda ajak ngobrol.”
                Anggukannya pertanda menyetujui pernyataanku. Pembicaraan kami mengalir dengan begitu saja. Sementara waktu bergerak dengan cepat. Dia berasal dari Surabaya, juga senang berpetualang. Ia dan aku mungkin senasib, sama-sama tak menduga akan bekerja di sini. Aku seperti mendapatkan teman baru di dalam dirinya. Tak selamanya orang asing akan terasa asing, bisa saja ada seorang teman lama dalam kehadiran sosok orang asing.
                Aku berbicara sambil menatap matanya, sesekali meneguk soju yang rasanya lebih menyenangkan di lidahku. Aku tak pernah merasakan soju yang hangat dan menyenangan seperti ini di lidahku, sampai pada akhirnya pria ini menyapaku secara tak sengaja.
                “Setiap mendekati tahun baru, aku selalu berpikir keras tentang liburan dan pulang ke Indonesia, namun rasanya hal itu sangat sulit terwujud.”
                “Di sini, kita sudah seperti orang Korea, mengejar banyak hal, banyak tujuan, sampai-sampai kita lupa pada kebahagiaan sendiri.”
                “Aku enggak mau stress, Busan menyenangkan tapi karena terlalu membahagiakan, rasanya tak ada lagi kejutan. Datar. Mudah ditebak. Begini-begini saja.”
                Kata ‘saya’ dan ‘anda’ mulai bergeser menjadi ‘aku’ dan ‘kamu’. Pertanda percakapan kami mulai dekat, menyentuh sudut-sudut hati kecil yang awalnya tak tersentuh. Suara pria ini beradu merdu dengan lagu Byul yang diputar oleh pemilik restoran, entah mengapa saat lagu ini terdengar, para pengunjung restoran tak lagi riuh seperti tadi, mereka terlihat menikmati lagu yang diperdengarkan.
                I Think I love you keurun-gabwayo. I'm falling for you nan mollah-jiman. Now I need you eonusaenka nae mam kipun -koseh aju. Kugeh jaripan gudaeui mosubeul ijen bowayo.
                Aku menikmati lirik lagu itu, dan berusaha memaknai dalam hati. Soju yang kuminum tetap terasa menyenangkan, pria ini telah mengubah rasa soju yang hambar menjadi lebih memiliki rasa tersendiri di lidahku.
                Ada panggilan alam yang memaksaku harus ke toilet, aku pamit meninggalkannya beberapa saat. Sebenarnya, aku juga tak ingin meninggalkannya walaupun hanya untuk beberapa saat. Sesampainya di toilet, aku bercermin, cukup lama, dan bahkan aku heran melihat pipiku bersemu merah. Aku melenggang mendekati meja dan bangku yang tadi kududuki bersama pria itu, namun kosong. Pria itu tak ada di posisinya semula.
                Aku mengulum bibir, tersenyum kecut. Hanya ada beberapa piring dan beberapa gelas soju yang isinya belum semuanya habis. Juga ada uang yang jumlahnya cukup untuk membayar semua makananku dan makanan pria itu. Aku kecewa setengah mati. Langkahku terseok-seok menuju kasir, membayar makananku dan makanan pria itu, beserta sojuyang tadi kuminum.
                Aku keluar dari restoran, dan cuaca di luar langsung menyemburkan hawa dingin. Aku merapatkan mantelku juga mengalungkan syalku. Musim ini, udara Busan memang dingin. Tapi, baru kali ini aku merasakan udara Busan yang sangat dingin.