adsense

Kamis, 29 Maret 2012

Merindukanmu dalam Sepi

Hujan menari-nari perlahan
menggelitik gemas pepohonan
Dan angin mendesah
Tubuhku menggigil
Langit semakin cemas
Ia terus-menerus menangis

Sementara langkahmu semakin menjauh
Saat tubuhku yang kedinginan sempat kauhangatkan dengan jemarimu
Demikian sosokmu terasa lenyap
Ketika labirin kosong di hatiku
mulai terisi olehmu

Janji yang terucap
Seakan-akan menguap
Cinta yang dulu mengendap
Berembus menjadi uap

Kini...
Aku hanya bisa
diam-diam merindukanmu dalam sepi

Aku sangat kenal bahasa rindu
Namun kamu selalu saja tak tahu
Dulu penyebab tawa
Kini jadi terdakwa!

Dan...
Kaupergi ketika semua sudah tertata rapi
Ketika peran mimpi dan nyata mulai berganti

Sabtu, 24 Maret 2012

Untuk "Mainan Lama" yang Telah Menemukan "Pemilik Baru"


Kudengar kautelah bahagia bersama pilihanmu. Bahagia bersama pilihanmu? Apakah kamu tidak mendapat kebahagiaan bersamaku? Dan... katanya lagi, kamu telah menemukan dirimu dan duniamu bersama dalam diri kekasih barumu. Betulahkah? Memangnya kalau bersamaku kautidak mendapatkan kedua hal itu?

Aku masih ingat bagaimana kita berusaha untuk saling mengucap kata pisah dan berusaha saling melupakan. Aku tak butuh waktu lama untuk menghempaskan dan membunuh penjahat bodoh seperti kamu. Tapi... kamu? Aku sangat yakin bahwa kamu harus jungkir-balik dan berusaha dengan keras untuk mengendalikan amukan perasaanmu. Aku sangat tahu bahwa kamu belum benar-benar melupakanku, kamu belum benar-benar menghapus aku dalam sistem kerja otakmu. Sebenarnya... aku masih menjadi duniamu, dan kamu adalah gravitasi yang terus-menerus menahanku, hingga aku bosan dan jera pada perlakuan bodohmu.

Jangan berpikir bahwa aku terluka. Jangan sengaja mempersepsikan bahwa aku tak bisa mendapatkan pengganti yang lebih baik darimu. Aku tidak sebodoh kamu. Karena seorang "dalang" harus lebih pintar dari "wayangnya". Karena seorang "pemilik" harus lebih pandai daripada "bonekanya". Menyenangkan bukan? Kita bermain di panggung yang sama, berganti-ganti peran sesukanya, berganti-ganti topeng semaunya.

Kamu adalah "boneka" yang mudah kuatur dan kuhempaskan. Kamu adalah "mainan" yang bisa kumanfaatkan sesuka dan semauku. Kalau kaupikir kaulah yang telah mempermainkanku, maka kau kembali menafsirkan hal yang salah. Kamu adalah salah satu "boneka" terbodoh yang pernah aku miliki. Salah satu? Ya... salah satu! Aku punya banyak "mainan" seperti kamu, namun diantara mereka tak ada yang sebodoh dan sebanyak gaya kamu.

Kamu sudah punya "pemilik baru" ya? Tentu saja "pemilik barumu" sama bodohnya seperti kamu. Kamu tahu pernyataan tentang orang yang memiliki harus memberi pada yang tak memiliki? Begitu juga aku, aku harus memberi "mainan lama" untuk "pemilik baru", kalian sama, sama bodohnya!

Rasanya sangat aneh kalau kaumerasa jauh lebih pintar daripada aku. Rasanya sangat menjijikan kalau kaumerasa lebih dewasa daripada aku. Kamu tak punya hak untuk mengatur dan menata hidupku! Kamu hanyalah "boneka" yang kucari ketika aku bosan dengan kebisingan dunia. Karena... sebenarnya... aku tidak berbohong jika aku berkata bahwa dalam dirimu aku menemukan ketenangan tersendiri. Dalam sepaket tawa renyahmu, aku temukan air mata yang selalu berubah menjadi tawa. Dalam aliran hening suaramu, ada bahagia yang tiba-tiba berdecak dalam getaran waktu. Dan... di dalammu, aku merasakan semua itu.

Memang aku sedikit menyesal ketika kita memutuskan untuk saling pisah dan saling mencari kebahagiaan masing-masing. Aku sedikit khawatir, apakah kamu-yang-selalu-berkata-mencintaiku akan menemukan kebahagiaan baru melebihi kebahagiaan yang kuberikan padamu? Aku takut jika dinginnya dunia membuatmu menggigil. Aku takut jika kerasnya dunia menyiksa batinmu yang terlalu sering disakiti itu.

Tapi... Ya sudahlah! Semua telah berlalu. Aku telah melepas rantai yang sempat membuat kakimu terjerat. Aku telah menghancurkan tembok yang menjadikan duniamu memiliki banyak sekat. Aku telah melepasmu agar kamu mampu mencari kebahagiaanmu sendiri, dan berhenti menjadi "mainan" yang selalu membahagiakanku meskipun luka tersayat pelan-pelan di hatimu.

Sekarang, kamu sudah bersama "pemilik baru", walaupun aku tahu dia mungkin tak sebaik aku, tapi berusahalah kuat dengan apapun yang terlihat baru di matamu, yang baru dan berbeda tak selamanya berarti keburukan. Kini... kaubisa bebas melakukan apapun tanpa batasan yang kuberikan untukmu. Kini... kaubisa miliki duniamu seutuhnya. Kulepaskan tali penggerak tubuhmu dan nikmatilah kebebasanmu.

Untuk "mainan lama" yang telah memiliki "pemilik baru", semoga hanya aku yang mengerti cara menggerakkan tubuhmu. Semoga hanya aku yang mampu membaca kebohongan di matamu.

Minggu, 18 Maret 2012

Untuk Kekasih Baru dari Mantan Kekasihku

Ah... Sebenarnya aku tidak mengenalmu
Siapa kamu
Dan berapa umurmu
Tapi...
Aku tak terlalu memedulikan itu

Kudengar
Kamu sudah menjadi pilihan terakhir mantan kekasihku
Astaga!
Mengapa mulutmu menganga?
Jadi...
Kamu terperanjat ketika tahu dia pernah menjadi kekasihku?
Sudahlah...
Tutup saja mulutmu dengan telapak tanganmu
Lalu...
Dengarkan ceritaku

Tentu saja
Aku lebih dulu mengenal dia daripada kamu mengenalnya
Sudah pasti
Aku lebih tahu bagaimana dirinya

Mungkin
Dia pernah bercerita tentangku padamu
Aku bisa menebak bagaimana wajahnya yang manis itu tiba-tiba merah padam
Aku mampu membayangkan matanya yang indah tiba-tiba terbelalak
Aku mampu mereka-reka hidung mancungnya tiba-tiba kembang-kempis dan naPasnya mendengus tajam
Aku bisa merasakan amarahnya dari sini
Aku masih sanggup merasakan debar jantungnya yang mulai berdegup

Sebenarnya...
Dia pria yang baik
Dia manis dan cukup romantis
Tapi...
Entah mengapa ada hal asing dalam dirinya yang sulit kuterima dan kumengerti
Mungkin...
Kaubisa lebih mengerti
Mungkin...
Kaubisa menerjemahkan keasingan itu menjadi suatu kelaziman

Bagaimana kabarnya sekarang?
Apa kacamatanya masih bulat seperti kakek-kakek yang senang membaca koran di pagi hari?
Apakah napasnya masih terngah-engah ketika ia sangat berantusias?
Masihkah jemarinya hangat ketika menggenggam tanganmu?
Masihkah bahunya kuat ketika tubuhmu bersandar di situ?
Aku tahu kalian pasti sangat bahagia
Walaupun mungkin saja tebakanku salah

Sinar matanya pasti semakin hangat
Ingatanku masih belum mampu melupakan kilatan halus di matanya
Otakku belum mampu menghapus rasa hangatnya ketika ia mengenggam tanganku dulu
Suaranya masih terus menderu
Halus dan lembut saat ia memanggil namaku dulu
Tolong jangan cemberut atau menangis!
Semua terjadi di masa lalu
Dan lihatlah pada dirimu!
Sekarang kamu memiliki dia
Sekarang aku kehilangan dia
Kamu masa depannya
Aku masa lalunya

Aku yakin
Dia pasti sangat mencintaimu
Karena ibunya juga mencintaimu secara penuh
Kamu dipilih langsung oleh ibunya
Untuk menjadi kekasihnya
Aku dipilih langsung oleh ibunya
Untuk mengakhiri semua yang telah terbentuk
Mimpi yang kurancang dengannya hampir sempurna
Istana yang kubuat bersamanya hampir selesai
Tapi...
Semua terpaksa hancur
Semua harus lebur
Aku tidak menyalahkan kamu
Telah terjadi bukan berarti akan berlanjut dan memiliki akhir yang indah
Seharusnya aku tahu dari awal
Rencana yang aku dan dia buat tak akan berakhir indah
Semua memang hanya mimpi
Kenyataannya...
Kamulah yang menjadi takdirnya
Kamulah yang miliki hatinya

Kautak perlu tahu bagaimana hubunganku dan hubungannya berakhir
Yang jelas semua sulit diterima akal sehat
Hanya karena mataku tak sipit!
Hanya karena aku tidak bisa melafalkan bahasa mandarin!

Semua berakhir dalam keterpaksaan
Mungkin ada keterpaksaan juga saat ia memelukmu dengan erat
Mungkin ada keterpaksaan juga saat ia berbicara cinta padamu

Kaubisa miliki raga dan tubuhnya
Tapi...
Kau tidak bisa miliki jalan hidupnya

Semoga hanya aku yang tahu cacat dalam dirinya
Semoga hanya aku yang mengerti keindahan dalam tuturnya

Kali ini...
Kamu pasti menangis
Kamu pasti menyesal
Wanita cerdas tak pernah menyesal!
Seperti aku yang tak pernah menyesal mencintai dia!
Seperti aku yang tak pernah menyesal membangun mimpi bersamanya!

Minggu, 11 Maret 2012

Aku Memang Tidak Seperti Mantanmu

Bianca menatap jam tangannya berkali-kali. Detak dari jam yang melingkar manis dipergelangan tangannya sejak tadi terus menemani kesediriannya. Wajahnya cemas, bibirnya terkunci rapat, jemari tangan kirinya mengisi celah-celah kecil jemari tangan kanannya. Sesekali ia menyilangkan tangan di dadanya, ia merasa kedinginan. Bianca kembali menatap jarum jam,  setelah itu ia memerhatikan awan yang semakin gelap dan rintik hujan yang semakin deras, wajahnya cemasnya semakin terlihat jelas.

“Kevin belum juga pulang.” ucapnya perlahan dalam hati.

Disentuhnya plastik berisi dua bungkus nasi goreng yang ia beli di sebuah kedai makan mungil di ujung jalan, makanan itu sudah dingin, tak lagi hangat seperti awal ia datang ke tempat kost Kevin. Dua jam sudah ia menunggu, sementara Kevin tak kunjung pulang. Kevin juga tak membalas pesan singkat yang dikirim Bianca untuknya. Hujan semakin deras, Bianca semakin cemas. Bianca tetap saja melihat handphone-nya, meskipun tak ada satu pesan pun dari Kevin, meskipun Kevin tak kunjung memberi kabar.

Terdengar derap suara mobil dari luar pagar, seseorang keluar dari mobil itu. Pria itu berlari-lari kecil lalu membuka pagar, kini pria itu berdiri tepat di depan Bianca. Bianca tersenyum lega.

“Kamu baru pulang? Sama siapa? Kehujanan ya?” tanya Bianca, masih dibalut wajah cemasnya.

“Kamu ngapain di sini sih?!” ujar Kevin setengah membentak.

“Aku mau bawain kamu nasi goreng. Kemarin, kamu sms ke aku katanya lagi pengen nasi goreng yang di ujung jalan itu, jadi aku beliin aja. Dimakan ya?” jelas Bianca dengan simpul senyum kecil bibirnya.

Kevin mengalihkan pandangannya, ia tak mau menatap Bianca, “Cewe bego! Pulang lo! Udah malem! Hujan juga kan!” bentaknya dengan nada tinggi.

Bianca hanya menatap sosok Kevin dengan wajah bingung, bentakan keras Kevin membuatnya mundur satu langkah dari posisi ia berdiri diawal.

“Tadi kamu pulang sama siapa?” tanya Bianca menahan rasa sedihnya.

“Sama mantanku, kenapa? Eh, aku heran deh sama kamu, seneng banget nungguin aku, kayak mantanku dong, orangnya enggak suka nunggu, kecuali kalau diminta!” jawab Kevin enteng, dengan wajah seakan-akan ia tak menyakiti hati Bianca.

“Oh…” ungkap Bianca menahan amarah. “Syukurlah kalau kamu bisa pulang sama dia, kamu juga enggak terlalu kehujanan. Ini nasi gorengnya, kamu makan ya. Aku mau pulang dulu.”

“Bawa aja nasi gorengnya, aku tadi udah makan kok sama dia.” tungkas Kevin dengan nada enteng.

“Enggak usah, kamu bawa aja. Aku pulang ya. Nanti langsung mandi dan keramas habis itu minum teh hangat supaya kamu enggak kedinginan.”  tegas Bianca sambil menatap wajah Kevin dengan penuh perhatian.

Kevin tetap membuang muka, sesekali Kevin menatap Bianca. Pandangannya mencuri-curi celah untuk menatap Bianca. Tapi, tetap saja dari raut wajahnya terlihat jelas bahwa Kevin tak peduli dengan Bianca. Kevin tak peduli dan tak mau tahu rasa khawatir yang Bianca simpan dalam-dalam. Padahal, rasa khawatir adalah wujud dari rasa cinta dan perhatian. Perhatian yang diabaikan layaknya rasa sakit yang diam-diam menghujam. Itulah yang dirasakan Bianca. Ia pulang dengan rasa hampa. Ia pulang dengan gerimis kecil dimatanya, gerimis itu bernama air mata.

***

Suara mahasiswa yang berdengung membuat Bianca pusing tujuh keliling. Bianca adalah wanita plegmatis yang kadang membenci keramaian. Ia hanya duduk sendirian, merasakan angin genit yang bermain dengan rambut hitamnya. Kevin berjalan di depannya namun Kevin peduli, tak mau menatap sosok Bianca yang menunggunya sejak tadi.

Bianca terbangun dari bangkunya, ia berlari-lari kecil mengejar sosok Kevin, “Kamu kenapa akhir-akhir ini cuek banget?”

Kevin mengarahkan pandangannya pada Bianca, “Emang kenapa? Kamu kan cuma pacarku bukan istriku, salahku kalau nyuekin kamu?”

Bianca mengehentikan langkahnya, ia tertunduk seusai mendengar ucapan yang terlontar begitu saja dari bibir Kevin, “Kapan kamu menghargai aku sebagai sosok yang penting dalam hidupmu?”

“Kapan? Kenapa bertanya? Bukankah aku selalu menghargai kamu?” tanya Kevin dengan nada keheranan.

“Padahal, apa yang tidak kuketahui tentangmu? Semua hal tentangmu tak pernah kecil di mataku. Aku selalu menghargai kamu, menghormati posisimu, dan masih memperlakukanmu dengan baik meskipun kadang kautak menghargai aku.” jelas Bianca dengan matanya yang mulai berair.

“Wanita bodoh! Jangan jadikan air matamu sebagai senjata pamungkasmu! Kamu cengeng, kamu berbeda dengan mantanku. Dia jauh lebih kuat daripada kamu!” tungkas Kevin dengan nada tinggi.

“Ya… aku memang tidak seperti mantanmu. Aku memang tidak secantik dan setegar dia. Aku memang tidak secerdas dan semandiri dia. Aku jelas-jelas tak luar biasa seperti dia. Tapi, dia hanya masa lalumu, sedangkan aku adalah masa kini yang mungkin akan kaubawa ke masa depanmu!” Bianca menatap Kevin dengan tatapan serius. Tak pernah Kevin melihat Bianca sekeras dan seberani itu.

“Kamu memang tidak seperti mantanku.” ucap Kevin singkat.

“Aku memang tidak seperti mantanmu. Aku adalah aku, yang akan luar biasa dengan jalan dan pilihanku sendiri. Kenyataannya kamu memang tidak bisa melupakan mantanmu dan masa lalumu.” ujar Bianca memicingkan mata, tatapannya tajam menatap Kevin.

“Bukan urusanmu!”

“Dan, aku sangat kecewa pada diriku sendiri, kenapa aku sulit membuatmu lupa pada masa lalumu.”

“Masa lalu bukan untuk dilupakan, masa lalu ada untuk dijadikan pelajaran.”

Mata Bianca memerah, cahayanya yang bening tak lagi bersinar dari bola matanya, “Aku juga kecewa pada diriku sendiri, kenapa aku sulit membuatmu jatuh cinta kepadaku lalu melupakan mantanmu?”

Kevin tak tega menatap Bianca, naluri lelakinya keluar, selalu tak tega menatap wanita yang sedang menangis, “Sudahlah…” ucap Kevin perlahan. “Jangan menangis.”

“Kita akhiri saja semua kalau memang kamu masih memikirkan masa lalumu. Kita akhiri saja semua kalau memang kaulebih merindukan masa lalumu. Kita cukupkan sampai di sini, kalau masa lalumu lebih mampu untuk membahagiakanmu.”

“Maksudku bukan seperti itu, Sayang.” dengan nada sok manja, Kevin menarik lengan Bianca. “Maaf ya?”

“Percuma ada kata maaf jika kau tak mau berubah. Percuma ada kata maaf jika kauterus mengulang kesalahan yang sama. Kembalilah pada masa lalumu, aku juga tak membutuhkan orang sepertimu di masa depanku.” Cetus Bianca, meghempaskan lengan kevin dari lengannya.

Kevin tak menyangka bahwa wanita yang beberapa bulan ini disiksanya juga mampu menyiksanya dengan cara yang menyakitkan. Hukum karma ternyata berlaku, jika seseorang menyakiti hati orang, maka akan ada saatnya hatinya juga akan tersakiti. Kevin hanya mematung menatap Bianca, menatap punggungnya hilang dari pandangannya.

***

Jam waker melakukan tugasnya dengan baik, celotehnya yang berisik membangunkan Kevin yang masih saja terantuk di ujung kantuk. Dimatikannya jam waker itu, ditariknya lagi selimut yang sejak tadi malam menghangatkan tubuhnya. Matanya menatap jam dinding, sudah pukul tujuh pagi. Gerakan reflek, ia menatap handphone, tak ada pesan singkat dari Bianca. Tak ada suara ketukan pintu dari luar. Tak ada lagi wanita yang menyiapkan bubur ayam sebagai sarapan kesukannya. Tak ada sosok wanita yang meletakkan teh hangat di dekat tempat tidurnya. Tak ada lagi Bianca yang memerhatikan sosoknya. Ia merasa kesepian. Rasa membutuhkan dan perasaan akan kehilangan baru ia rasakan ketika ia telah kehilangan.

Kevin menghela napas. Ia menarik selimut untuk menghangatkan dadanya. Tubuhnya masih menggigil, demamnya tak juga turun. Entah sudah berapa lama hujan menari-nari tadi malam, hingga dinginnya masih saja menusuk tulang. Sosok Bianca yang ia harapkan tergopoh-gopoh membawa obat dan segelas air putih, tak kunjung menampakkan batang hidungnya. Hanya detak jam dinding yang mendesah perlahan kala itu.

Tak ada Bianca.

Kevin kembali menghela napas. Ia menarik selimut menutupi wajahnya. Ada gerimis kecil di matanya, gerimis itu bernama air mata.