adsense

Sabtu, 30 Juni 2012

Mungkin, aku terlalu berharap banyak

Rasanya semua terjadi begitu cepat, kita berkenalan lalu tiba-tiba merasakan perasaan yang aneh. Setiap hari rasanya berbeda dan tak lagi sama. Kamu hadir membawa banyak perubahan dalam hari-hariku. Hitam dan putih menjadi lebih berwarna ketika sosokmu hadir mengisi ruang-ruang kosong di hatiku. Tak ada percakapan yang biasa, seakan-akan semua terasa begitu ajaib dan luar biasa. Entahlah, perasaan ini bertumbuh melebihi batas yang kutahu.

Aku menjadi takut kehilangan kamu. Siksaan datang bertubi-tubi ketika tubuhmu tidak berada di sampingku. Kamu seperti mengendalikan otak dan hatiku, ada sebab yang tak kumengerti sedikitpun. Aku sulit jauh darimu, aku membutuhkanmu seperti aku butuh udara. Napasku akan tercekat jika sosokmu hilang dari pandangan mata. Salahkah jika kamu selalu kunomorsatukan?

Tapi... entah mengapa sikapmu tidak seperti sikapku. Perhatianmu tak sedalam perhatianku. Tatapan matamu tak setajam tatapan mataku. Adakah kesalahan di antara aku dan kamu? Apakah kamu tak merasakan yang juga aku rasakan?

Kamu mungkin belum terlalu paham dengan perasaanku, karena kamu memang tak pernah sibuk memikirkanku. Berdosakah jika aku seringkali menjatuhkan air mata untukmu? Aku selalu kehilangan kamu, dan kamu juga selalu pergi tanpa meminta izin. Meminta izin? Memangnya aku siapa? Kekasihmu? Bodoh! Tolol! Hadir dalam mimpimu pun aku sudah bersyukur, apalagi bisa jadi milikmu seutuhnya. Mungkinkah? Bisakah?

Janjimu terlalu banyak, hingga aku lupa menghitung mana saja yang belum kamu tepati. Begitu sering kamu menyakiti, tapi kumaafkan lagi berkali-kali. Lihatlah aku yang hanya bisa terdiam dan membisu. Pandanglah aku yang mencintaimu dengan tulus namun kau hempaskan dengan begitu bulus. Seberapa tidak pentingkah aku? Apakah aku hanyalah persimpangan jalan yang selalu kau abaikan – juga kautinggalkan?

Apakah aku tak berharga di matamu? Apakah aku hanyalah boneka yang selalu ikut aturanmu? Di mana letak hatimu?! Aku tak bisa bicara banyak, juga tak ingin mengutarakan semua yang terlanjur terjadi. Aku tak berhak berbicara tentang cinta, jika kauterus tulikan telinga. Aku tak mungkin bisa berkata rindu, jika berkali-kali kauciptakan jarak yang semakin jauh. Aku tak bisa apa-apa selain memandangimu dan membawa namamu dalam percakapan panjangku dengan Tuhan.

Sadarkah jemarimu selalu lukai hatiku? Ingatkah perkataanmu selalu menghancurleburkan mimpi-mimpiku? Apakah aku tak pantas bahagia bersamamu? Terlau banyak pertanyaan. Aku muak sendiri. Aku mencintaimu yang belum tentu mencintaiku. Aku mengagumimu yang belum tentu paham dengan rasa kagumku.

Aku bukan siapa-siapa di matamu, dan tak akan pernah menjadi siapa-siapa. Sebenarnya, aku juga ingin tahu, di manakah kauletakkan hatiku yang selama ini kuberikan padamu. Tapi, kamu pasti enggan menjawab dan tak mau tahu soal rasa penasaranku. Siapakah seseorang yang telah beruntung karena memiliki hatimu?

Mungkin... semua memang salahku. Yang menganggap semuanya berubah sesuai keinginanku. Yang bermimpi bisa menjadikanmu lebih dari teman. Salahkah jika perasaanku bertumbuh melebihi batas kewajaran? Aku mencintaimu tidak hanya sebagi teman, tapi juga sebagai seseorang yang bergitu bernilai dalam hidupku.

Namun, semua jauh dari harapku selama ini. Mungkin, memang aku yang terlalu berharap terlalu banyak. Akulah yang tak menyadari posisiku dan tak menyadari letakmu yang sengguh jauh dari genggaman tangan. Akulah yang bodoh. Akulah yang bersalah!

Tenanglah, tak perlu memerhatikanku lagi. Aku terbiasa tersakiti kok, terutama jika sebabnya kamu. Tidak perlu basa-basi, aku bisa sendiri. Dan, kamu pasti tak sadar, aku berbohong jika aku bisa begitu mudah melupakanmu.

Menjauhlah. Aku ingin dekat-dekat dengan kesepian saja, di sana lukaku terobati, di sana tak kutemui orang sepertimu, yang berganti-ganti topeng dengan mudahnya, yang berkata sayang dengan gampangnya.

dari seseorang yang kehabisan cara
membuktikan rasa cintanya

Jumat, 22 Juni 2012

Satu-Satunya

            “Aku hanya memiliki dia.” ucap Pengkhianat santai. “Dia satu-satunya yang kupunya.”
            Cinta terdiam dan sesekali menghela napas. “Perempuan jalang!”
            “Apa salahku?” keluh Pengkhianat dengan wajah tak berdosa.
            “Kamu menyakitinya tolol!” Cinta membentak dengan kasar, ia tak mampu lagi menahan emosinya.
            “Aku menyakitinya?” ulang Pengkhianat dengan wajah seakan-akan tak melakukan kesalahan. “Dia masih milikku kan?”
            “Hatinya memang milikmu, tapi bukan berarti kaubebas mematahkannya!”
            Pengkhianat menatap dengan tatapan tajam, semakin tajam seperti menusuk Cinta dengan ribuan pedang. “Memangnya kamu siapa? Pahlawannya?”
            Ucapan itu terasa sangat menghujam, Cinta menutup mulutnya rapat-rapat. Ia berpikir keras tentang jati dirinya yang belum juga terjawab. Cinta itu siapa? Mengapa dia begitu tak tega jika Jujur disakiti oleh Pengkhianat. Cinta berpikir keras, semakin keras hingga keringatnya mengucur deras.
            “Aku bukan siapa-siapa.” desah Cinta lembut, seperti ada tangis yang terdengar menyayat dalam ucapannya.
            “Sudah tahu bukan siapa-siapa kenapa masih bersikap sok pahlawan?” Pengkhianat bertolak pinggang, ia menaikkan alisnya. “Aku wanita jalang, tapi kamu wanita bodoh!”
            Cinta tak berani menatap wajah Pengkhianat, ia seakan-akan mati rasa dan tak tahu lagi harus mengeluarkan kata-kata apalagi. Kosakata di kepalanya seakan-akan terhapus dan terbawa lari ke dunia antah berantah yang tak mampu Cinta capai. Cinta masih bergumul dengan perasaannya dan berharap rasa  keterpurukan itu tak semakin menghantuinya.
            “Kamu memang pernah menjadi segalanya bagi Jujur, tapi kamu tak berhak menyakiti dia lebih lama lagi!”
            “Aku menyakitinya?” suara Pengkhianat terdengar licik disertai dengan tawa sinis. “Aku hanya ingin merasakan pelukan hangat beberapa pria dan merasakan bibir manis pria-pria lainnya. Apa aku salah?”
            “Jangan jadikan dia korban! Dia sangat mencintaimu!”
            “Berarti aku hebat?”
            Tangan Cinta mengepal kuat, rasanya ia ingin melayangkan tinju bertubi-tubi ke wajah yang membuat dirinya naik pitam. Ia masih berusaha menahan emosinya, dan sesekali melirik ke arah Jujur. Pria itu terlihat lemah dan tak berdaya, wajahnya yang pucat mengintip sesekali dari balik jendela. Cinta begitu berjarak dengan Jujur, namun ia masih bisa merasakan apa yang dirasakan oleh jujur. Wanita ini, Cinta, tahu kalau Jujur sedang kebingungan setengah mati.
            “Kamu selalu hebat wanita jalang!” seru Cinta dengan desis yang lirih namun menghujam. “Tapi, kali ini kamu tidak akan kubiarkan menang!”
            “Tidak akan menang?!”
            Cinta menangguk pelan.
            “Kamu hanya dibodohi pria itu! Jujur tak pernah mencintaimu!”
            “Tidak masalah buatku.”
            “Tidak masalah?”
            “Asal dia bahagia. Cukup.”
            “Omong kosong!”
            “Aku tidak pernah bohong, Jujur memang selalu mencintaimu dan ia sangat sulit melupakanmu.”
            Pengkhianat tertawa pelan. “Sekali lagi... aku menang!”
            “Kamu belum tentu menang.” Cinta mengujar dengan pasti. “Waktu bisa mengubah banyak hal yang tak kautahu!”
            “Aku masih segalanya bagi Jujur! Kamu hanyalah persinggahan baginya! Pelarian! Haha!”
            “Kamu boleh tertawa di awal, tapi jangan salahkan aku kalau air matamu terjatuh di akhir!”
            Setiap frasa yang terucap dari bibir Cinta terdengar menohok. Kalimat itu membuat Pengkhianat terdiam, ia mencerna setiap kata yang Cinta ucapkan.
            “Tidak perlu kausumpahi, Cinta.” tanggap Pengkhianat terdengar enteng. “Aku memang akan selalu tertawa!”
            “Aku tahu sebenarnya kautidak bahagia. Kamu tertawa di atas tangis orang lain, kebahagiaan semu!”
            Tawa Pengkhianat berubah menjadi wajah yang masam. “Kamu tidak akan bahagia bersamanya, Cinta. Percayalah. Jujur hanya mencintai aku. Akulah yang selalu ada di pikiran Jujur.”
            “Untuk saat ini kaumemegang kendali hatinya, tapi untuk saat-saat berikutnya ia akan sadar dan membuka matanya, kaubukan siapa-siapa lagi, wanita jalang!”
            “Kamu benar-benar mencintainya?”
            Nada tanya yang tiba-tiba menyambar cinta itu langsung mendiamkan pita suara Cinta. Ia bergumam dalam-dalam di hatinya.
            “Aku benar-benar mencintainya.”
            “Jika dia tak mencintaimu?”
            Tanpa pikir panjang, cinta bergumam. “Untuk alasan apapun, aku tetap mencintainya.”
            “Jika dia tak akan pernah mencintamu?”
            “Bagiku, melihat senyumnya sudah cukup.”
            “Cukupkah?’
            Cinta mengangguk, ia kembali menatap Jujur dengan tatapan penuh arti. Jujur menangkap sinar mata Cinta, dan tatapan itu membuka mata Jujur semakin lebar. Sudah beberapa menit Cinta berdebat dengan Pengkhianat, ia ingin semuanya sampai pada klimaks. Botol minum yang ada di jemari kirinya masih ia remas gemas, ia menatap mata Pengkhianat dengan tatapan sinis dan menyiramkan semua isi botol itu di tubuh Pengkhianat.
            “BUATMU!” tangan Cinta melibas wajah Pengkhianat dengan botol minum juga sedikit tinju yang lumayan. Cinta mengelak kencang.
            Langkah Cinta terasa ringan, ia menghampiri Jujur dengan wajah berseri-seri. Tangannya mengetuk pintu dan Jujur segera berlari menghampiri Cinta.
            Jujur segera memeluk Cinta lekat dan rapat. Ia mencium lembut kening Cinta.
            “Jadilah masa depanku.”

Senin, 18 Juni 2012

Inikah Rasanya Jarak?

Jarak sejauh ini tak mampu membuat kita berbuat dan bergerak lebih banyak. Seakan-akan aku dan kamu tak punya ruang untuk saling  bersentuhan juga saling menatap. Rasanya menyakitkan jika keterbatasanku dan keterbatasanmu menjadi penyebab kita tak banyak tahu dan tak banyak bertemu. Setiap hari, kita menahan rindu yang semakin menggebu dan tak mereda. Inikah cara cinta menyiksa? Melalui jarak ratusan kilometer?

Aku menghela napas, membayangkan jika kamu bisa terus berada di sampingku dan merasakan yang juga kurasakan. Maka mungkin tak akan ada air mata ketika hanya tulisan dan suara yang bisa menguatkan kita. Maka tentu saja tak akan ada ucapan rindu berkali-kali yang terlontar dari bibir kita, ketika perasaan itu semakin membabibuta.

Apakah yang kita pertahankan selama ini? Apakah yang kita andalkan sejauh ini? Sekuat apakah perasaan cinta kita? Menahan dan mempertahankan, dan kadangkala memicu pertengkaran. Tapi... itulah manisnya jarak, ia membuat kita saling menyadari, tak ada cinta tanpa luka, tak ada cinta tanpa rindu.

Sayang, apalah arti ratusan kilometer jika kita masih mengeja nama yang sama? Apakah arti jauhnya jarak jika aku dan kamu masih sangat mungkin mempertahankan semuanya? Kita jarang saling bergenggaman tangan, jarang sekali berpelukan, dan sangat jarang saling berpandangan. Namun, percayalah, sayang, tak saling bersentuhan bukan berarti cinta kita punya banyak kekurangan.

Apa yang kucari dan apa yang kamu cari? Tak ada, kita masih meraba-raba apa itu cinta dan bagaimana kekuatan itu bisa membuat kita bertahan. Rasa cemburu, rasa ragu, dan rasa rindu sebenarnya adalah pemanis. Tidak ada hal yang sangat berat, jika kita melalui berdua; melewatinya bersama.

Selama bulan yang kita lihat masih sama, selama sinar matahari yang menyengat kulit kita masih sama hangatnya, maka pertemuanku dan kamu masih akan tetap terjadi.

Jarak hanyalah sekadar angka, jika kita masih memperjuangkan cinta yang sama.